Pandemi COVID-19 dan Kemandirian Bahan Baku Obat
Sumber foto : medgadget.com
Setelah 5 bulan sejak
kasus positif covid 19 pertama kali diumumkan, saat ini pemerintah
melaporkan penambahan 2.880 kasus baru COVID-19 yang terkonfirmasi pada hari Senin,7
September 2020 sehingga total pasien terkonfirmasi saat ini 196.989 kasus
COVID-19.
Dalam setahun ini pula banyak hal yang terdampak dari kondisi pandemi ini. Mulai dari sektor pendidikan, perekonomian, sosial serta tentu saja sektor kesehatan.
Meskipun
saat ini vaksinasi telah dilaksanakan secara bertahap, namun banyak pakar
memprediksi bahwa kondisi pandemi ini akan tetap bertahap setidaknya sampai
dengan tahun 2022 atau 2023.
Industri Farmasi sebagai bagian dari sektor Kesehatan, tidak terlepas dari dampak pandemi. Kita tahu bahwa Indonesia adalah salah satu pasar farmasi yang tumbuh paling cepat di Asia.
Survei yang dilakukan oleh Global Data, pasar farmasi Indonesia menempati peringkat pasar terbesar di kawasan ASEAN, dengan nilai pasar diperkirakan mencapai Rp 141,6 Triliun (USD 10,11 miliar) pada tahun 2021.
Perluasan
product range dan peningkatan permintaan obat generik adalah faktor
utama yang mendorong pertumbuhan pasar farmasi Indonesia. Pemerintah mengubah
undang-undang dengan kepemilikan asing sebagian menjadi saat ini 100%
kepemilikan asing penuh.
Sedangkan pertumbuhan industri farmasi obat jadi di Indonesia berdasarkan data BPOM meningkat dari 210 pada tahun 2015 menjadi 227 pada tahun 2020.
Selain itu, terdapat 13
Industri Farmasi Bahan Baku Obat yang terdiri dari 10 industri bahan baku obat
kimia dan 3 industri bahan baku obat biologi bulk vaksin dan produk biologi
lain.
Khusus terkait dengan Bahan Baku Obat (BBO), data dari kementerian perindustrian bahwa 95% bahan baku obat Indonesia selama ini di impor dari luar negeri, terutama Cina, India, Jepang dan beberapa negara Eropa.
Dari
angka tersebut dapat dilihat bahwa tingkat ketergantungan kita terahadap
pasokan bahan baku obat dari luar negeri sangat besar ditambah lagi kondisi pandemi
ini terjadi di semua negara di dunia, maka tentu ada kondisi ketidakpastian
yang dapat mengganggu produksi obat-obatan di negara kita karena faktor supply
dari negara asal yang juga terganggu.
Selain itu, situasi pandemi COVID-19 juga menyebabkan potensi gangguan besar pada pasokan dan kekurangan produk medis yang penting. Putusnya rantai pasokan bisa sangat serius bagi akses kita ke obat-obatan.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk
menghilangkan ketergantungan BBO dari China dan negara lain dan mulai
memproduksi BBO sendiri. Situasi COVID-19 memberi Indonesia kesempatan untuk lebih
mandiri dalam pembuatan BBO dan produk perantara.
Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan BBO serta dalam rangka mendukung kemandirian industri farmasi nasional, pemerintah telah mendorong penurunan nilai impor. Karena meskipun volume BBO yang diimpor kecil, tapi memiliki nilai yang tinggi.
Kementerian Perindustrian memproyeksi ketergantungan impor (BBO) industri farmasi nasional akan berkurang signifikan pada 2024 menjadi sekitar 74 persen. Sedangkan pada 2020 untuk impor BBO berkurang sebesar 2,72 persen menjadi sekitar 92 persen.
Hal ini berkat peran dari anak
perusahaan PT. Kimia Farma, Tbk yaitu PT. Kimia Farma Sungwoon Pharmacopia
(KFSP) yang memproduksi beberapa BBO seperti Simvastatin (4,2 metrik ton),
Atrovastatin (0,7 metrik ton), Clopidogrel (7,6 metrik ton), dan Entecavir (371
gram).
Di sisi lain, industri farmasi sedang mengalami perubahan revolusioner di bidang manufaktur, dengan potensi untuk beralih dari batch manufacturing ke continuous flow processing.
Kemungkinan penerapan
model bisnis farmasi baru ini di pasar negara berkembang akan membuka pintu
bagi perubahan dramatis dalam manufaktur komersial regional. Kemajuan cloud
computing, automation dan system unification, membuka jalan
bagi produksi bahan farmasi aktif yang berkelanjutan dengan konektivitas
digital terintegrasi.