Rekomendasi Sakti itu Bernama Emergency Use Authorization (EUA)
Barangkali sebagian besar dari kita sudah mengetahui peran vital Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengawasi dan mengontrol keamanan di bidang farmasi dan makanan.
Kita tentu masih ingat bagaiamana media memberitakan tentang pengungkapan penggunaan bahan kimia berbahaya yang dicampur pada bkaso yang diproduksi oleh tukang bakso yang nakal. Di tahun 2016 berita heboh tentang pasangan suami-istri yang memproduksi lima jenis vaksin palsu sejak 2010 hingga Juni 2016 di rumahnya di Perumahan Kemang Pratama Regency, Kota Bekasi.
Di setiap pengungkapan dan penegakan hukum atas kasus-kasus yang terkait dengan kefarmasian, selalu ada peran BPOM di dalamnya. Artinya sejauh ini kiprah BPOM tidak diragukan lagi dalam menlindungi kepentingan masyarakat khususnya di bidang kefarmasian dan makanan.
Pun demikian di masa pandemi ini. Setelah 1,2 juta vaksin Sinovac resmi tiba di Indonesia pada Agustus 2020, keterlibatan BPOM dalam seluruh proses pemastian mutu dan keamanan vaksin menjadi sangat krusial. Vaksinasi akan mulai dilaksanakan jika BPOM telah memberikan persetujuan berdasarkan hasil evaluasi dengan dukungan data dan bukti ilmiah yang menunjang aspek keamanan, khasiat dan mutu dari vaksin, dan mengacu kepada panduan dari WHO, Badan Pengawas Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA), hingga Agensi Obat Eropa (EMA) dalam pemberian persetujuan darurat.
Seperti kita ketahui bahwa semua negara di dunia berlomba-lomba untuk mendapatkan jaminan ketersediaan vaksin yang terbaik bagi masyarakatnya, memulai vaksinasi dengan cepat agar dapat segera pulih dari kondisi pandemic. Begitupun dengan Indonesia.
Pemerintah telah bergerak cepat sejak awal pandemi untuk berkomunikasi dengan banyak negara penghasil vaksin ternama di dunia antara lain USA, Inggris, Jerman dan Cina. Mengingat jumlah penduduk negara kita yang mencapai 270 juta jiwa. Tentu membutuhkan setidaknya 70% penduduk yang divaksinasi agar terbentuk herd immunity. Dan itu artinya Indonesia membutuhkan minimal 360-400juta dosis vaksin yang disuntikkan ke 180 jutaan penduduk. Dengan asumsi 1 orang mendapatkan 2 kali suntikan dosis vaksin.
Dengan telah datangnya 1,2 juta vaksin di agustus dan ditambah 1,8 juta dosis vaksin di bulan Desember, maka Indonesia telah mengamankan 3 juta dosis vaksin untuk bisa memulai vaksinasi. Namun yang masih menjadi polemik sampai dengan pertemgahan Desember 2020 ini adalah uji klinik fase 3 masih berlangsung di Bandung sejak bulan Agustus.
Pada proses uji klinik fase 3 normal, setidaknya membutuhkan waktu minimal 6 bulan agar dapat mengeluarkan hasil lengkap mengenai aspek keamanan, khasiat dan mutu dari vaksin. Artinya vaksinasi dapat dilaksanakan paling cepat di bulan Maret 2021. Padahal kita tahu, bahwa pemerintah sangat berkepentingan dan telah mengumumkan akan percepatan vaksinasi dilaksanakan pada bulan Januari 2021.
Banyak pihak yang mengkritisi upaya pemerintah mengumumkan percepatan vaksinasi. Karena dikhawatirkan akan berpengaruh pada independensi dari BPOM untuk mengeluarkan ijin penggunaan vaksin Sinovac. Kekhawatiran ini tentu beralasan. Akan sangat berbahaya jika vaksin yang belum disertai data-data pendukung hasil uji fase 3 yang lengkap disuntikkan ke masyarakat.
Namun sudah menjadi ketentuan di dunia bahwa di masa pendemi sekarang ini, otoritas obat-obatan dan makanan dapat mengeluarkan ijin khusus sebagaimana juga telah diatur oleh WHO. Ijin khusus tersebut menjadi semacama rekomendasi sakti yang bernama Emergency Use Authorization (EUA) yang dapat digunkan dalam masa pandemi dengan tetap mempertimbangkan banyak faktor.
BPOM sejauh ini telah menyampaikan bahwa mereka dapat memberikan izin darurat penggunaan vaksin (EUA) jika laporan efikasi atau keampuhan Sinovac sesuai dengan standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni minimal 50 persen. Data yang digunakan dapat menggunakan data interim, yaitu berupa data pengamatan selama 3 bulan setelah penyuntikan.
Lebih jauh lagi, data uji klinis yang telah dikembangkan peneliti berupa data keamanan subjek uji klinik yang diamati setelah dua kali kali penyuntikan yaitu berupa data imunogenisitas atau kemampuan vaksin membentuk antibodi; dan data efikasi vaksin atau kemampuan vaksin melindungi orang yang terpapar virus menjadi tidak sakit.
Kemudian, data-data tersebut diamati dalam periode 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan setelah penyuntikan. Setelah data tersebut dianalisis, maka akan diserahkan untuk dievaluasi BPOM, apakah sudah memenuhi standar untuk mendapatkan izin penggunaan darurat atau belum. Sehingga, uji klinis tetap akan dilanjutkan setelah pemberian EUA sampai pengamatan 6 bulan.
Apapun itu, semoga dengan akan diterbitkannya EUA oleh BPOM yang menurut rencana di Januari 2021 seiring dengan akan di mulainya vaksinasi yang akan diawali oleh penyuntikan vaksin pada Presiden Jokowi, menjadi langkah yang baik dalam upaya penanganan pandemi.
Posting Komentar untuk "Rekomendasi Sakti itu Bernama Emergency Use Authorization (EUA)"