Karantina Penting tapi Jangan Bikin Pening
Ilustrasi kedatangan internasional di Bandara (sumber : Kompas.com) |
(Artikel ini telah tayang pada Kompasiana)
Setidaknya ada 2 kejadian terkait karantina yang menyedot
perhatian publik dan membuat heboh warganet. Pertama, Rachel Vennya yang kabur
dari tempat karantina dengan menyuap oknum petugas. Kedua, Mulan Jameela
bersama keluarga yang karantina mandiri di rumah setelah pulang dari luar
negeri.
Dari dua kejadian di atas memiliki kesamaan dari sisi objek
pelaku perjalanan yang sama-sama publik figur sehingga menjadi perhatian
publik. Keduanya juga sama-sama tidak mengikuti prosedur normal selayaknya yang
berlaku bagi masyarakat kebanyakan.
Namun perlakuan aparat pemerintah baik itu satgas maupun
penegak hukum berbeda. Latar belakang profesi keduanya menjadi pembeda. Yang
satu influencer dan diproses hukum dan yang satu lagi adalah anggota DPR dan
diberi diskresi untuk karantina mandiri.
Apakah selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Karena publik
terutama warganet di era sosmed digital ini di mana arus informasi sangat
terbuka lebar dengan cepat memberikan respon dan pendapatnya.
Kita ketahui bersama, selain 2 orang tersebut, masyarakat
yang melakukan perjalanan dari luar negeri juga banyak dan mendapatkan perlakuan
yang berbeda dari petugas atau satgas di lapangan.
Terungkap pada acara Rosi di Kompas TV. Seorang warga (Riza)
yang baru pulang dari Malaysia kemudian diminta oleh petugas untuk karantina di
hotel dengan biaya 8,2 juta.
Riza kemudian menolak dengan alasan keberatan dengan biaya
tersebut. Bisa dibayangkan jika yang pulang dari luar negeri tersebut adalah
keluarga yang terdiri dari 4-5 orang. Kalau kata Poltak raja minyak, bisa
pening kepala awak.
Cerita selanjutnya Riza bersama dengan beberapa orang
lainnya harus menunggu berjam-jam di bandara untuk keputusan lebih lanjut
seperti apa. Lalu kemudian dibawa ke rusun Pasar rumput dengan menunggu antrian
selama berjam-jam pula di bus untuk karantina terpusat.
Dari kejadian di atas, terlihat ada perlakuan yang berbeda
antara publik figur, pejabat negara dan warga biasa. Sehingga wajar jika
warganet kemudian menyoroti perbedaan perlakuan tersebut karena mencederai rasa
keadilan publik.
Sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya yang dikeluarkan
oleh pemerintah pada masa pandemi ini (misalnya aturan tentang PPKM), aturan
karantina pada dasarnya bertujuan baik yaitu untuk mencegah penyebaran virus
Corona. Apalagi varian Omicron telah menyebar dibanyak negara dan telah
terdeteksi pula di Indonesia.
Namun aturan yang bertujuan baik dan penting tersebut
kemudian "bermasalah" pada tataran implementasi. Ada beberapa hal
yang menjadi penyebab.
Pertama, aturan yang dikeluarkan terkait pandemi sangat
dinamis perubahannya menyesuaikan dengan kondisi di lapangan dan perkembangan
virus Corona secara global.
Kedua, di sisi lain sosialisasi atas perubahan-perubahan yang ada termasuk prosedur turunan yang mengatur pada tingkatan lebih teknis tidak tersampaikan secara mulus ke masyarakat.
Misalnya saja ketika aturan masa karantina bagi pelaku
perjalana dari luar negeri yang berubah dari 3 hari menjadi 7 hari lalu menjadi
10 hari, informasi secara online ataupun flyer atau poster di
titik-titik terminal kedatangan tidak tersedia dengan cukup (dikutip dari
keterangan Riza). Sehingga ada kebingungan atau kekagetan dari masyarakat
ketika baru pertama kali mengetahui aturan itu dan harus bagaimana.
Ketiga, prosedur implementasi di lapangan terkesan tidak
disiapkan dengan baik. Ada kegamangan dan ketidakkonsistenan dari petugas dalam
menerapkan kebijakan praktis dari aturan yang telah ditetapkan. Sehingga tidak
heran jika warganet menyoroti kejadian tebang pilih penegakkan aturan
karantina.
Keempat, pemberian diskresi terhadap pejabat negara
hendaknya betul-betul dilakukan dengan tepat sesuai aturan yang ada.
Apakah keluarga juga dapat diberikan diskresi atau hanya
pada pejabat negara tersebut. Jangan karena pejabat negara plus publik figur,
diberikan kemudahan.
Apalagi aturannya ternyata belum secara khusus mengatur.
Ketegasan satgas atau aparat mutlak diperlukan.
Kelima, monitoring dan evaluasi di tataran teknis lapangan
nampaknya belum dilakukan secara konsisten. Terutama di masa-masa awal
penerapan aturan baru. Dan disinilah masa rawannya.
Karena kita ketahui bersama bahwa di masa pandemi dengan
perubahan-perubahan kondisi lapangan yang sangat dinamis, sangat rentan
terjadinya kekacauan implementasi kebijakan dan prosedur aturan baru.
Oleh karena itu monitoring dan evaluasi perlu dilakukan
secara rutin. Jika perlu dilakukan harian dan langsung ditindaklanjuti dengan
perbaikannya. Sehingga begitu ada temuan atau isu di lapangan, tanpa perlu
waktu lama dan disorot media, bisa langsung dilakukan perbaikan dan terobosan.
Keenam, saluran-saluran komunikasi yang memudahkan
masyarakat untuk bertanya atau komplain atas layanan petugas terkait kebijakan
karantina ini harus disediakan di lapangan dan disosialisasikan dengan masif
dengan beragam media. Jika perlu 24 jam.
Baik itu saluran komunikasi via telepon, email, media
sosial, aplikasi di smartphone, whatsapp maupun saluran lainnya. Ini
menunjukkan keseriusan dan peran solutif dari pemerintah.
Karena perlu diingat, masyarakat yang baru pulang dari luar
negeri bukanlah orang bermasalah yang diperlakukan berbeda atau bahkan
dipersulit dengan ketidakjelasan prosedur.
Perlu juga diperhatikan kondisi dan kehatan fisik mereka.
Bisa jadi karena kelelahan yang dialami selama perjalanan, usia dan kondisi
khusus yang ada dan proses yang lama untuk masuk karantina, malah menyebabkan
mereka rentan terkena penyakit ataupun tertular virus.
Mereka adalah warga negara juga yang perlu diberi informasi
yang baik dan difasilitasi sesuai dengan peraturan yang ada.
Semoga dengan berbagai kejadian yang ada, dapat dijadikan
pelajaran dan perbaikan baik itu pemerintah, petugas di lapangan maupun
masyarakat.
Karena di tengah kondisi pandemi seperti ini, kejelasan aturan karantina dan penegakkannya yang sesuai dengan prinsip keadilan menjadi poin penting untuk mengendalikan penyebaran varian Omicron yang berasal dari luar negeri.
Selain itu agar kebijakan karantina ini tidak menjadi celah permainan oknum di lapangan yang sangat merugikan masyarakat dan menodai kerja keras satgas dan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul
"Karantina Penting tapi Jangan Bikin Pening", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/mujasteguh9915/61bc75c2157395680727c7f4/karantina-penting-tapi-jangan-bikin-pening
Posting Komentar untuk "Karantina Penting tapi Jangan Bikin Pening"