Kemandirian Farmasi Nasional
Ilustrasi pengujian bahan baku obat (Foto oleh Edward Jenner dari Pexels) |
Isu kemandirian farmasi nasional
kembali menjadi topik penting setelah Presiden Joko Widodo menegaskan lagi hal
ini saat melakukan groundbreaking Rumah Sakit (RS) Internasional Bali pada 27
Desember lalu.
Sepanjang 2021 setidaknya
terdapat tiga momen lain ketika Presiden menyampaikan hal yang sama, yaitu pada
Sidang Tahunan 16 Agustus 2021, pertemuan dengan para direktur utama BUMN di
Nusa Tenggara Timur pada 14 Oktober 2021, dan saat membuka Rakernas Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI) 5 November.
Alasannya sama, yaitu tingkat
ketergantungan impor bahan baku obat nasional masih tinggi. Kondisinya
dilematis. Di satu sisi Indonesia memiliki kekayaan dan keberagaman hayati
tetapi sekitar 95% bahan baku obat masih diimpor. Alhasil terjadi pemborosan
devisa negara, mempertebal defisit neraca transaksi berjalan, dan pada akhirnya
industri farmasi nasional tidak bisa tumbuh dengan baik.
Kondisi pandemi Covid-19
menunjukkan betapa rentannya ketahanan kesehatan nasional ketika ada gangguan
rantai pasok bahan baku obat (BBO) akibat sejumlah pembatasan di berbagai
negara. Menurut Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT)
Kemenperin Muhammad Khayam, produksi bahan baku domestik masih sulit untuk
dipacu karena sejumlah persoalan seperti kelayakan ekonomi yang rendah,
sehingga menghambat investasi pada sektor ini.
Ada pula hambatan rantai nilai.
Adapun di industri hilir produsen lokal sudah mampu menguasai pasar domestik
hingga 90%. Impor industri farmasi juga mengalami peningkatan selama 2018–2020
sekitar 110,5% tetapi menurun secara volume pada periode tersebut (Kemenperin,
2021).
Bagi masyarakat, produk farmasi
adalah kebutuhan yang penting untuk menopang kesehatan dan produktivitasnya,
terlebih dalam kondisi pandemi. Ketersediaannya di berbagai sarana kesehatan di
seluruh Indonesia dibutuhkan tanpa memandang kelompok kelas. Di samping
keterjangkauan, kualitas juga menjadi penting.
Kemandirian farmasi nasional
merupakan target realistis mengingat potensi yang dimiliki Indonesia.
Setidaknya ada dua potensi besar. Pertama, potensi pasar dan pelaku industri
farmasi. Seiring peningkatan ketahanan kesehatan nasional, kebutuhan terhadap
bahan baku obat ikut meningkat.
Pasar farmasi Indonesia menyentuh
angka Rp84,5 triliun pada 2020 (IQVIA, 2021) dan diproyeksikan meningkat
menjadi Rp123,6 triliun pada tahun lalu. Saat ini terdapat sekitar 223
perusahaan perusahaan farmasi, terdiri dari empat BUMN, 195 industri swasta
nasional, dan 24 perusahaan multinasional (Kemenperin, 2021). Namun baru 5
perusahaan farmasi lokal yang terjun ke industri BBO.
Kedua, potensi kekayaan alam yang
sangat besar bagi BBO, mulai dari minyak bumi, sumber daya hayati dan
keanekaragaman spesies. Kekayaan flora Indonesia mencakup 30.000 jenis tumbuhan
dengan 9.600 di antaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat. Jika sumber alami
itu bisa dimanfaatkan, impor BBO bisa ditekan.
Sayangnya, upaya memaksimalkan
potensi tersebut dihadapkan pada beberapa tantangan yang butuh untuk dikaji dan
dicarikan solusinya. Masalah pertama kepastian pasar. Meskipun telah ada
Permenperin No. 16/2020, masih dibutuhkan kepastian fasilitas kesehatan (rumah
sakit, apotek, klinik, puskesmas) terutama milik negara untuk wajib membeli
produk farmasi dengan kandungan lokal yang telah ditentukan.
Kementerian Kesehatan perlu
mengeluarkan regulasi terkait hal ini, sehingga dapat mendorong investasi
industri BBO, lokal karena skala ekonominya menjadi lebih jelas.
Kedua, teknologi dan ekosistem
pendukung. Setiap obat terdiri dari dua komponen utama yaitu active
pharmaceutical ingredients (API) yang aktif secara kimia dan eksipien yang
inert secara kimiawi. Masalahnya, API tidak diproduksi oleh satu reaksi bahan
mentah saja tetapi melalui berbagai reaksi senyawa kimia. Dari bahan mentah
hingga API, beberapa di antaranya menjalani lebih dari 10 jenis perantara
selama prosesnya.
Mulai dari bahan kimia di
laboratorium sampai pada produksi dengan reaktor besar untuk menghasilkan API
dalam jumlah jumbo. Tingkat kemurniannya juga perlu dipastikan sebelum dijual
ke produsen obat. Jika API tidak murni, obat tersebut tidak dapat memenuhi
standar kualitas yang ketat. Oleh karena itu, penguasaan teknologi dan
ekosistem industri pendukung untuk menghasilkan API yang berkualitas berperan
sangat penting.
Ke depan, pengembangan ekosistem
industri BBO yang melibatkan kolaborasi beragam industri dalam negeri dan riset
pendidikan tinggi perlu dipacu. Harapannya, bisa menjadi penggerak kemandirian
farmasi Indonesia, sehingga tidak lagi sangat tergantung pada impor.
Dalam jangka pendek, impor bisa
pelan-pelan dikurangi dengan regulasi dan implementasi pemakaian BBO lokal.
Tetapi perlu diingat akar masalahnya. Jika tidak, ketergantungan impor ini akan
terus terjadi. Arahan Kepala Negara sudah jelas, yaitu jadikan kemandirian
farmasi fokus utama.
Tentu target kemandirian farmasi
ini tetap memperhatikan kolaborasi semua pihak dengan harapan ketahanan
kesehatan nasional akan terwujud.
Posting Komentar untuk "Kemandirian Farmasi Nasional"