Toxic Leadership dan Dampaknya pada Organisasi
Ilustrasi toxic leadership di organisasi (sumber : pexels) |
Leadership adalah faktor penting
penentu keberlanjutan kinerja organisasi. Ada beragam bentuk leadership. Toxic
leadership adalah salah satunya. Namun sayangnya ia memiliki dampak yang
merugikan organisasi.
Secara umum, leadership telah
identik dengan makna konstruktif yang ditandai dengan niat, metode, dan
konsekuensi positif.
Namun, belakangan ini semakin
banyak peneliti dan praktisi manajemen yang membahas tentang aspek negatif dari
leadership. Di antaranya yaitu berfokus pada hubungan antara sisi gelap
leadership dan disfungsi organisasi.
Para ahli manajemen melabeli
leadership yang buruk dengan sejumlah nama atau istilah yang berbeda-beda.
Antara lain negative or dark leadership, abusive leaders, bad leadership,
narcissistic leaders, toxic leadership, destructive leadership.
Bahkan terbaru oleh Boddy dkk
(2017) dalam makalahnya memakai istilah yang agak ekstrim yaitu corporate
psychopaths. Namun dari sekian banyak istilah tersebut, yang cukup populer
adalah toxic leadership.
Ini didasari bahwa leadership
yang buruk dapat menyebar secara diam-diam dan tidak terdeteksi seperti racun
dan tidak hanya mencemari individu; melainkan juga mempengaruhi tim dan pada
akhirnya seluruh organisasi (Bhandarker dan Rai, 2020).
Leaders, bagaimanapun, tidak
berdiri sendiri. Leaders ada dalam kerangka organisasi. Para ahli manajemen
sepakat bahwa toxic leadership itu penyebab dan wujudnya kompleks.
Bisa berupa tindakan
ketidaksopanan, gangguan kepribadian dan perilaku, gejolak emosi dan narsisme
hingga kebijakan perusahaan yang bermasalah, ketidakstabilan perusahaan dan
pasar, dan pergolakan sistemik akibat dari restrukturisasi, merger, akuisisi,
pengurangan jabatan dan karyawan.
Beberapa ciri dari toxic
leadership yang dirangkum dari berbagai sumber literatur yaitu :
- Bertindak tanpa integritas dengan menyembunyikan dan terlibat dalam berbagai perilaku tidak terhormat lainnya. Contohnya seperti korupsi, kemunafikan, sabotase dan manipulasi, serta berbagai macam tindakan tidak etis, ilegal, dan kriminal lainnya.
- Menciptakan konflik dan memperumit lingkungan organisasi dengan menyebabkan kerusakan emosional pada bawahannya. Misalnya perilaku saling memata-matai dan saling melaporkan di antara karyawan.
- Tidak pernah menganggap perilakunya sebagai negatif dan mereka selalu percaya bahwa perilaku mereka dapat diterima secara sosial. Terkadang dengan mencari informasi pada layer di bawahnya atas siapa saja yang membicarakan negatif tentang diri dan kinerjanya
- Tidak memberdayakan timnya, cenderung merendahkan bawahan dengan membentak, mengkritik dan mengejek baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berdampak pada berkurangnya kepercayaan diri, harga diri, kekompakan tim dan efikasi diri bawahan.
Penelitian lain juga menguraikan
beberapa dampak yang ditimbulkan dari toxic leadership, meliputi :
- Berdampak pada hasil kinerja seperti penurunan komitmen organisasi, persepsi ketidakadilan, konflik peran, penyimpangan interpersonal dan sikap terkait pekerjaan yang buruk di antara bawahan.
- Berdampak negatif dengan kepuasan kerja, dedikasi kerja dan motivasi kerja.
- Menyebabkan konsekuensi psikologis negatif seperti permusuhan, kecemasan dan depresi.
- Menghasilkan lingkungan dan budaya kerja yang toksik yang membawa seluruh organisasi ke dalam lingkaran setan keputusasaan dan kerusakan.
- Pada tingkat yang sangat senior dapat menciptakan budaya penjilat. Dimana orang-orang, dalam upaya untuk mendekati mereka yang berkuasa dapat menjadi pembisik, mengecewakan rekan kerja dan secara umum mengacaukan kerja tim dan kolaborasi.
- Lebih jauh, dapat menyebabkan rusaknya reputasi perusahaan, akibat dari penyebaran kata-kata buruk terhadap organisasi di media sosial, sebagai wujud perlawanan terbuka dari karyawan.
Respons Karyawan
Secara umum, karyawan sebagai
bawahan bereaksi terhadap toxic leadership dengan cara apa yang dikenal sebagai
coping response yaitu mengacu pada upaya perilaku spesifik yang digunakan
individu untuk menguasai, mentolerir, mengurangi atau meminimalkan peristiwa
stres (Folkman dan Lazarus, 1980).
Coping response dilakukan dengan
3 cara yitu :
1. Assertive coping
Ditandai dengan mengambil
tindakan cepat untuk menghadapi pemimpin yang toksik melalui keluhan langsung
ke otoritas internal yang lebih tinggi atau pejabat terkait di atasnya. Baik
secara terbuka maupun tanpa nama.
Contohnya melaporkan tanda-tanda
toksik, perilaku, dan kesalahan yang dilakukan oleh toxic leaders. Terkadang
dalam bentuk protes terbuka dan mencoba memobilisasi pendapat orang lain
terhadap toxic leaders.
2. Adaptive coping
Ditandai dengan penggunaan mekanisme
adaptif oleh bawahan seperti menjaga hubungan positif dengan pemimpin. Bahkan
jika mereka marah dengan perilaku toxic leaders tersebut, mereka berusaha
mengendalikan amarah mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk berdiskusi.
Dalam hal ini, memilih untuk tetap diam dan menutup mata terhadap perilaku dan
tindakan toxic leaders.
3. Avoidance coping
Di mana karyawan cenderung untuk
menyeimbangkan perilaku yang dirasakan tidak adil dari toxic leaders baik
dengan menghindari mereka atau memiliki interaksi minimal dengan toxic leaders
tersebut baik secara aktif maupun pasif.
Misalnya dengan menahan
informasi, tidak berbagi masalah atau peluang bisnis dengan pemimpin serta
tidak membantu rekan kerja lain. Ini tentu merupakan hal yang merugikan bagi
karyawan dan organisasi.
Dari ketiga respons di atas, yang
paling sering dilakukan oleh karyawan dalam menghadapi toxic leaders adalah
dengan Adaptive coping. Karyawan menganggap bekerja dengan toxic leaders
sebagai "fase buruk" yang pada akhirnya akan berlalu. Alasannya
lainnya karena tidak mau mempertaruhkan karier masa depannya.
Selain itu, Duffy dkk. (2002)
juga menemukan bahwa bawahan sering menggunakan cara-cara yang tidak jelas
seperti menyebarkan desas-desus, diam-diam tidak mematuhi dan menyensor
informasi dari atasan yang berdampak negatif pada toxic leaders dari waktu ke
waktu. Hal ini juga dapat merusak suasana dan meracuni budaya kerja dan iklim
organisasi.
Pada kasus yang lebih ekstrem,
karyawan pada akhirnya memilih keluar dari organisasi meninggalkan pekerjaan.
Ini merupakan langkah terakhir untuk mengurangi tingkat stres serta emosi
negatif yang disebabkan oleh perlakuan buruk yang dirasakan akibat toxic
leaders.
Peran Organisasi
Seperti dijelaskan sebelumnya.
Perilaku destruktif seorang leaders pada akhirnya berdampak negatif terhadap
loyalitas, produktivitas, motivasi, kesehatan, dan kebahagiaan karyawan.
Pada banyak perusahaan Fortune
500 telah menyadari dan mengelola sisi gelap toxic leadership ini sebagai
realitas kehidupan organisasi.
Oleh karena itu, organisasi harus
mengambil tindakan proaktif yang tepat untuk mengidentifikasi, mengoreksi dan
mengelola toxic leadership yang ada di organisasi.
Pertama, organisasi harus lebih
berhati-hati menganalisis kinerja menyeluruh sebelum memberi penghargaan atau
promosi karier kepada seorang talent.
Baik dalam bisnis keluarga atau
perusahaan, individu yang bermasalah dan destruktif terkadang cukup sulit untuk
dideteksi oleh pewawancara yang kurang terlatih. Bahkan pada saat tes atau
wawancara pada level top manajemen.
Kedua, organisasi juga harus
merancang mekanisme whistle-blowing system, sehingga karyawan dapat mengekspos
kesalahan toxic leaders melalui saluran intenal tepercaya.
Karena jika karyawan diam-diam
beradaptasi dengan kondisi dan keinginan toxic leaders, itu akan merugikan
tidak hanya bagi karyawan, tapi juga pada kinerja organisasi.
Ketiga, melembagakan praktik SDM
profesional berbasis psikologi klinis untuk mengatasi keluhan karyawan dapat
membantu mengurangi efek negatif dari toxic leadership.
Keempat, organisasi secara
berkala melakukan tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk
menilai kepribadian dan psikopatologi pada senior leaders. Ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi kesehatan mental, sehingga ahli profesional bisa menentukan
ada atau tidaknya gangguan mental pada para pemimpin organisasi.
Diharapkan dengan
mengidentifikasi, mengoreksi dan mengelola toxic leadership, organisasi dapat
meminimalisasi dampak buruk yang ditimbulkan agar keberlanjutan kinerja dapat
tercapai dengan baik.
Catatan: artikel ini telah dimuat di kumparan pada 24 Januari 2022. Selengkapnya dapat membaca pada link berikut https://kumparan.com/mujas-teguh/toxic-leadership-dan-dampaknya-pada-organisasi-1xN0K8XtpnB/full
Posting Komentar untuk "Toxic Leadership dan Dampaknya pada Organisasi"