Akselerasi Transformasi Pharma 5.0
Ilustrasi pengembangan obat di era Pharma 5.0 (sumber : Shutterstock) |
Dengan jumlah penduduk sebesar 272 juta jiwa yang merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan urutan keempat terbesar dunia, Indonesia memiliki ukuran pasar farmasi yang sangat besar. Harapan ini menjanjikan karena pasar farmasi diperkirakan akan tumbuh dari US$ 7 miliar pada 2018 menjadi US$ 20 miliar pada 2028 (Siagian, 2020).
Menurut data Kementerian Kesehatan, sampai 2021, terdapat 271 industri formulasi farmasi, 17 industri bahan baku farmasi, 132 industri obat tradisional, 18 industri ekstraksi hasil alam. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada masa pandemi Covid-19, sektor industri farmasi masuk dalam kategori high demand. Oleh karena itu, pada 2021 Kemenperin telah menetapkan industri farmasi menjadi sektor strategis dalam penerapan industri 4.0 yang menjadi salah satu prioritas dalam Making Indonesia 4.0. Tujuannya untuk meningkatkan daya saing sektor industri farmasi dengan mendorong transformasi teknologi berbasis digital.
Teknologi manufaktur yang responsif dan fleksibel melalui operasi berbasis robot dan otomatis sangat membantu dalam menghadapi perubahan permintaan dan kondisi pembatasan fisik sehingga produksi obat-obatan terkait COVID-19 tetap dapat berjalan.
Tantangan Pharma 4.0
Pemanfaatan teknologi digital pada industri farmasi dikenal dengan istilah Pharma 4.0 yang berperan mengubah platform manufaktur dan logistik farmasi melalui digitalisasi, sistem otonom, robotika, AI, dan komputasi canggih.
Secara khusus, penerapan Pharma 4.0 pada rantai pasokan farmasi, proses produksi, distribusi, dan pengelolaan persediaan berdampak pada peningkatan efisiensi dan produktivitas yang signifikan. Keberhasilan Pharma 4.0 membutuhkan adopsi teknologi manufaktur canggih dan mengatasi tantangan regulasi, teknis, dan budaya.
Pertama, tantangan regulasi. Saat ini, sebagian besar regulasi dikembangkan dalam paradigma industri 2.0 dari manufaktur batch tradisional. Oleh karena itu, regulator perlu mengidentifikasi dan menerapkan perubahan yang diperlukan dalam peraturan yang lebih update untuk memungkinkan teknologi baru seperti manufaktur berkelanjutan.
Kedua, tantangan teknis. Dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pengetahuan yang diperoleh dari big data, yang dapat digunakan untuk tujuan audit internal, keputusan rilis produk, pemasaran, dan/atau berbagi dengan regulator.
Ketiga, tantangan budaya dan inovasi oleh produsen dan regulator dalam menghadapi munculnya risiko data, komputasi, dan otomatisasi.
Selain ketiga tantangan di atas, tentulah juga diperlukan investasi keuangan. Investasi awal yang diarahkan pada modal dan biaya operasional untuk mengubah fasilitas atau membuat yang baru dapat menimbulkan hambatan bagi pelaku indutri.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu mendukung infratruktur melalui implementasi teknologi 5G, penyesuaian regulasi yang lebih update dan memberikan kemudahan berupa insentif agar industri farmasi dapat menerapkan teknologi Pharma 4.0 yang lebih terkontrol, lebih sedikit kesalahan, lebih responsif, dan pada akhirnya stok obat nasional yang lebih terjamin.
Menuju Pharma 5.0
Industri 4.0 sejauh ini dikritik lebih berfokus pada digitalisasi dan teknologi berbasis AI untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas.
Sementara konsep industri 5.0 menyoroti pentingnya inovasi yang bertanggung jawab, tidak hanya atau ditujukan untuk meningkatkan efisiensi biaya atau memaksimalkan keuntungan, tetapi juga meningkatkan kemakmuran bagi semua pemangku kepentingan baik itu investor, pekerja, konsumen, masyarakat, bahkan lingkungan.
Pada 2021, Komisi Eropa secara resmi menyerukan Revolusi Industri 5.0 yang berkelanjutan, berpusat pada manusia, dan tangguh. Dengan cepat konsep tersebut kemudian diadopsi oleh banyak industri di dunia. Tak terkecuali sektor farmasi. Pharma 5.0 kemudian berkembang lebih lanjut dan mulai diterapkan di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Pharma 5.0 memberikan penekanan pada peran industri farmasi untuk mencapai tujuan sosial di luar optimasi proses dan pertumbuhan. Pertama, pendekatan yang berpusat pada manusia yang menempatkan kebutuhan dan kepentingan inti manusia di jantung proses produksi.
Teknologi dipakai untuk melayani manusia dan masyarakat. Teknologi yang digunakan dalam manufaktur menyesuaikan dengan kebutuhan dan keragaman pekerja industri yang tidak lagi dipandang sebagai cost, melainkan sebagai investasi.
Kedua, membuat produk farmasi yang lebih dipersonalisasi dengan memanfaatkan profil genetik atau teknologi molekuler untuk menciptakan terapi dengan target yang spesifik dan pengembangan obat yang disesuaikan untuk masing-masing pasien.
Ketiga, mengintegrasikan prioritas sosial dan lingkungan dengan lebih baik ke dalam inovasi teknologi dan mengalihkan fokus dari teknologi individual ke pendekatan sistematis.
Lebih jauh, Pharma 5.0 mendukung farmasi hijau yang mendukung transisi ke ekonomi yang lebih sirkular dan peningkatan ketergantungan pada sumber daya yang berkelanjutan, termasuk pengelolaan limbah.
Keempat, Pharma 5.0 harus cukup tangguh untuk menyediakan dan mendukung infrastruktur penting untuk produksinya terutama pada saat krisis serta memiliki daya tahan lebih baik terhadap disrupsi.
Krisis Covid-19 telah menyoroti ketersediaan obat-obatan berkualitas, perlunya memikirkan kembali metode dan pendekatan cara kerja, termasuk kerentanan rantai pasokan global. Akselerasi menuju Pharma 5.0 pada akhirnya bertujuan untuk membuat industri farmasi nasional lebih tahan di masa depan, tangguh, berkelanjutan, dan berpusat pada manusia.
Artikel ini telah tayang di detik.com pada 11 Maret 2022 dengan judul "Akselerasi Transformasi Pharma 5.0" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5978546/akselerasi-transformasi-pharma-50.
Posting Komentar untuk "Akselerasi Transformasi Pharma 5.0"