Berulangnya Kasus Kopi "Berpenguat"
Ilustrasi Kopi yang mengandung bahan kimia obat (sumber : BPOM) |
Terbongkarnya kasus kopi yang
mengandung sildenafil pada awal Maret 2022 lalu bukan merupakan kasus pertama.
Sebelumnya pada 2011, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah
menemukan 22 jenis produk yang dicampur dengan sildenafil, dan pada 2015 juga
diumumkan 25 produk yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Selain dicampur
pada kopi, biasanya sildenafil juga dicampur pada obat tradisional atau
suplemen.
Sildenafil merupakan bahan aktif
dari obat yang biasa kita kenal dengan viagra. Apakah berbahaya jika dikonsumsi
bersama kopi? Sepertinya tidak perlu lagi dibahas panjang lebar, telah banyak
pakar farmakologi yang membahasnya di media. Namun secara ringkas dapat
diketahui bahwa terdapat efek samping yang berbahaya jika kopi mengandung
sildenafil tersebut dikonsumsi dengan dosis yang berlebihan oleh orang-orang
yang memiliki faktor risiko. Dampaknya terutama pada jantung.
Lantas mengapa kasus kopi
mengandung sildenafil tersebut masih terus berulang -- padahal BPOM sebagai
regulator telah melarang produk-produk sejenis tersebut? Setidaknya ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab. Pertama, sesuai dengan prinsip ekonomi,
jika ada permintaan, maka akan ada yang memasoknya. Kira-kira itu mungkin yang
diimplementasikan oleh para produsen "nakal" tersebut.
Dari sisi bisnis, saat ini
perkembangan bisnis kopi bak jamur di musim hujan. Merujuk pada data
Kementerian Pertanian, konsumsi kopi Indonesia sepanjang periode 2016-2021
tumbuh rata-rata 8,22 persen/tahun. Pada 2021, pasokan kopi diprediksi mencapai
795 ribu ton dengan konsumsi 370 ribu ton.
Mengkonsumsi kopi sudah menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat, terutama anak muda dan usia produktif.
Minuman kopi dengan varian rasa dapat dijumpai mulai dari kafe-kafe besar
sampai dengan kopi kemasan kecil di warung-warung pinggir jalan. Mulai dari
harga lima ribu per gelasnya sampai dengan yang harganya Rp 60 ribu.
Potensi pasar dan cuan itulah
yang dilihat oleh para produsen ilegal kopi "berpenguat" tersebut.
Lokasi produsen yang berada di Jawa Barat juga tentu bisa dilihat dari sisi
pasar yang strategis.
Kedua, masih minimnya pengetahuan
dan kesadaran masyarakat tentang bahaya kopi yang dicampur dengan sildenafil.
Minim di sini bisa bermakna konsumen yang meminum kopi tersebut memang tidak
tahu bahwa kopi tersebut telah tercampur dengan obat "penguat", tapi
merasakan efek strong-nya. Bisa juga konsumennya sudah mengetahui kandungan dan
efek kopi tersebut, tapi tidak mengetahui atau bahkan tidak peduli bahaya atau
efek sampingnya.
Untuk itu diperlukan edukasi kepada masyarakat intuk meningkatkan pemahaman tentang bahaya dari kopi yang mengandung sildenafil. Dalam melakukan sosialisasi, perlu melibatkan kolaborasi dari regulator di daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk asosiasi-asosiasi tenaga kesehatan dengan menggunakan beragam media termasuk media sosial. Jadi sosialisasinya bukan hanya pada saat pengungkapan atau penemuan kasus, tapi juga melalui aksi-aksi preventif.
Ketiga, regulasi dan pengawasan
yang rutin terhadap para pelaku usaha, baik itu dari sisi produsen,
distributor, maupun di tingkat pengecer. Mengingat kebanyakan produk tersebut
diproduksi oleh produsen ilegal, maka perlu dilihat kembali bagaimana peran dan
kerja sama antara berbagai stakeholder terkait dalam melakukan pengawasan
termasuk penindakan dengan memberikan hukuman secara tegas agar memberikan efek
jera sekaligus melindungi konsumen.
Karena jika tidak, maka kasus
serupa akan selalu terulang di masa depan. Prinsip ekonomi supply and demand
akan tetap berlangsung sampai kapan pun. Para produsen nakal tetap akan melihat
potensi pasar yang menggiurkan dan akan memanfaatkan lengahnya aspek pengawasan
serta kurangnya kesadaran konsumen.
Selain pengawasan dan penindakan
pada sarana ilegal, regulator perlu juga mengawasi produk-produk yang
dipasarkan secara online. Di era digital saat ini, pemasaran produk-produk
ilegal, termasuk kopi, obat tradisional, suplemen yang mengandung BKO sangat
mudah dijumpai pada beragam platform marketplace digital. Cobalah ketik kopi
viagra atau kopi jantan, maka akan muncul beragam produk yang dapat dipesan di
hampir semua platform.
Dari sisi konsumen, untuk
mengetahui apakah kopi yang dikonsumsi mengandung BKO, sebenarnya bisa dilihat
dari nama kopi tersebut. Biasanya kopi-kopi "berpenguat" memiliki
nama yang bombastis seperti Kopi Jantan, Kopi Cleng, Kopi Bapak, Spider, Urat
Madu, dan lain sebagainya. Selain itu, konsumen juga dapat memperhatikan apakah
produk kopi kemasan yang mereka konsumsi memiliki izin edar resmi dari lembaga
pemerintah atau tidak.
Perlu diketahui oleh publik,
untuk produk obat-obatan, makanan dan minuman yang berasal dari dalam negeri
yang diproduksi oleh produsen yang lebih besar dari skala rumah tangga wajib
memiliki Izin Edar BPOM dengan kode MD. Sedangkan bagi produsen skala kecil dan
menengah yang memiliki modal terbatas, biasanya perizinannya dikeluarkan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota dengan kode P-IRT.
Namun permasalahannya adalah
produsen ilegal biasanya memalsukan izin edar dari lembaga pemerintah yang
berwenang. Maka tidak ada pilihan lain untuk mencegah kembali munculnya
"kopi berpenguat" atau sejenisnya. Bagi regulator pilihannya adalah
secara rutin melakukan sosialisasi edukatif yang kreatif, melakukan pengawasan
baik itu di sarana offline maupun online dengan menggandeng organisasi
kemasyarakatan dan penindakan tegas. Sementara di sisi konsumen, harus semakin
cerdas dalam mengenali dan mengkonsumsi produk kopi yang tidak mengandung bahan
kimia obat yang berbahaya.
Artikel ini telah tayang di Detik.com pada 12 April 2022 dengan judul Berulangnya Kasus Kopi "Berpenguat". Selengkapnya dapat dibaca pada link https://news.detik.com/kolom/d-6028515/berulangnya-kasus-kopi-berpenguat.
Posting Komentar untuk "Berulangnya Kasus Kopi "Berpenguat""