Layanan Telehealth : Tantangan dan Masa Depan Industri
Ilustrasi Layanan Telehealth (sumber : iStock) |
Pasca pandemi COVID-19, beberapa
industri telah benar-benar pulih seperti pada sektor penerbangan dan
pariwisata, meski beberapa industri lainnya mencoba menuju titik keseimbangan
baru misalnya pada sektor property.
Pada sektor kesehatan, teknologi
kesehatan digital telah menjadi game changer untuk melewati masa pandemi.
Teknologi digital health begitu populer dan sangat diandalkan untuk melewati
era krisis multidimensi di masa pandemi. Layanan telehealth ataupun telemedicine
adalah salah satu contohnya.
Teknologi telehealth ini terus
berkembang dan didopsi di banyak negara. Di Amerika serikat, sebagai negara
maju, 75% konsumen yang disurvey oleh Rockhealth pada tahun 2023 dilaporkan
pernah menggunakan telehealth, dan 83% dari pengadopsi tersebut telah menggunakan
telehealth dalam 12 bulan terakhir.
Meskipun mengalami pertumbuhan
eksponensial sejak pandemi COVID-19 yang ditandai dengan banyaknya pemain di
sektor ini, namun kabar mengejutkan datang di kuartal II 2024 ini. Walmart dan
Optum di Amerika Serikat menutup layanan telehealth-nya. Bahkan untuk Walmart
juga menutup layanan klinik offline-nya.
Hal tersebut menjadi indikator
bahwa dunia perawatan virtual sedang mengalami perubahan besar yang selanjutnya
menimbulkan pertanyaan tentang masa depan telehealth itu sendiri.
Lantas, apa kira-kira yang
menjadi penyebab dari tutupnya dua pemain telehealth di Amerika Serikat
tersebut? Jika dianalisa lebih lanjut, terdapat beberapa faktor yang dapat
diduga menjadi penyebabnya.
Pertama, model bisnis yang tidak
berkelanjutan. Dalam hal ini kemampuan integrasi dengan catatan medis, sistem
rujukan, dan layanan kesehatan lainnya membuat pengalaman pasien
terfragmentasi. Selain isu tentang biaya yang belum tentu menjadikan telehealth
lebih murah dibanding dengan kunjungan tatap muka.
Kedua, persaingan ketat dan
margin laba rendah. Penurunan harga layanan telehealth akibat persaingan
mempersulit penyedia layanan untuk menutupi biaya operasi. Adanya kompleksitas
lanskap industri yang disebabkan oleh model bisnis yang belum jelas di antara
berbagai perusahaan telehealth .
Ketiga, perubahan perilaku
konsumen pasca-pandemi. Pasien merasa lebih nyaman kembali ke kunjungan tatap
muka dengan dokter setelah puncak pandemi berlalu. Hal lainnya, pasien juga
merasa lelah dengan konsultasi virtual, memicu keinginan untuk interaksi tatap
muka.
Keempat, tantangan teknologi dan
logistik. Adanya kondisi kesenjangan digital yaitu tidak semua pasien memiliki
akses ke internet atau perangkat elektronik, menyebabkan ketidaksetaraan dalam
perawatan kesehatan. Selain itu, ketersediaan tenaga kesehatan yang terbatas di
daerah terpencil menyebabkan waktu tunggu yang lama dan akses terbatas.
Kekhawatiran tentang keamanan data dan privasi pasien juga menimbulkan keraguan
untuk menggunakan layanan telehealth.
Kelima, kurangnya dukungan
regulasi dan reimbursement. Dalam hal ini, ketidakjelasan regulasi menghambat
investasi dan pertumbuhan industri. Sementara keterbatasan reimbursement dari
banyak perusahaan asuransi kesehatan membuat pasien enggan menggunakan layanan
telehealth karena biaya tambahan.
Peluang dan Tantangan
Meskipun di Amerika Serikat, dua
pemain besar seperti Walmart dan Optum hengkang dari bisnis telehealth, di
Indonesia, peluang layanan telehealth masih terbuka lebar. Tantangannya memang
ada, namun potensinya pun tak kalah besar.
Seperti diketahui, pasar
telehealth di Indonesia masih tergolong baru dan sedang berkembang pesat.
Menurut data Mordor Intelligence, diperkirakan pasar telehealth di Indonesia
akan mencapai nilai USD 320 juta pada tahun 2025, dengan pertumbuhan tahunan (CAGR)
sebesar 34,5% selama periode 2020-2025.
Angka-angka tersebut tercermin
antara lain dari penetrasi internet di Indonesia terus meningkat, dengan 77%
populasi memiliki akses internet di tahun 2023. Hal ini memungkinkan lebih
banyak orang untuk mengakses layanan kesehatan. Telehealth juga dapat memberikan
akses ke dokter spesialis dan layanan kesehatan lainnya yang mungkin tidak
tersedia di daerah tertentu
Namun demikian, terdapat beberapa
tantangan yang dihadapi oleh pasar telehealth. Di beberapa daerah di Indonesia,
masih terdapat keterbatasan akses dan kecepatan internet. Hal ini dapat
menghambat penggunaan layanan telehealth. Seperti halnya di Amerika Serikat ,
adanya isu tentang dan keamanan data pasien saat menggunakan layanan
telehealth. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil dalam
layanan telehealth juga masih menjadi persoalan. Selain itu juga diperlukan
edukasi untuk mengubah pola pikir masyarakat agar terbiasa dengan layanan
kesehatan berbasis online.
Masa Depan Industri
Para pemain industri Telehealth
di Indonesia seperti Halodoc, Alodoc, Klikdokter, SehatQ dan lain sebagainya
perlu mengambil pelajaran penting dari tutupnya layanan telehealth Walmart dan
Optum di Amerika Serikat.
Pertama, mengembangkan model
bisnis yang berkelanjutan. Kegagalan Walmart dan Optum menunjukkan bahwa model
telehealth awal yang berfokus pada kunjungan virtual untuk perawatan primer dan
darurat tidak berkelanjutan. Model ini tidak terintegrasi dengan perawatan yang
sudah ada dan tidak memberikan nilai yang cukup bagi pasien.
Kedua, perlunya integrasi dengan
layanan kesehatan tradisional. Pasien menginginkan perawatan virtual yang
terintegrasi dengan perawatan tradisional dan menawarkan pengalaman yang lebih
holistik. Saat ini, model hybrid yang menggabungkan perawatan virtual dan tatap
muka menjadi semakin populer.
Ketiga, teknologi memainkan peran
penting dalam evolusi perawatan virtual. Beberapa perusahaan teknologi global
seperti Wheel dan SteadyMD, maupun perusahaan dalam negeri seperti Telkom grup
menyediakan infrastruktur teknologi untuk mendukung platform telehealth.
Platform ini memungkinkan integrasi lebih banyak kemampuan perawatan virtual
dan meningkatkan adopsi massal.
Keempat, jangan terlena dengan
mitos "Pertumbuhan Cepat". Industri telehealth mengalami pertumbuhan
yang pesat di awal pandemi COVID-19, tetapi kemudian mengalami penurunan. Hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan cepat tidak selalu berkelanjutan dan
perusahaan perlu fokus pada strategi jangka panjang.
Kelima, sangat penting untuk
membangun kemitraan. Ketika pemain telehealth keluar dari pasar, peluang baru
terbuka bagi startup kesehatan digital untuk bermitra dengan pemain digital
health lainnya termasuk dengan program digital health milik pemerintah (SatuSehat)
dalam pengembangan layanan kesehatan digital.
Keenam, adaptasi dan inovasi.
Perusahaan telehealth perlu beradaptasi dengan perubahan pasar dan terus
berinovasi untuk menawarkan layanan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
Termasuk perlunya berfokus pada kebutuhan pasien (patient centric) dan memahami
apa yang mereka inginkan dari layanan telehealth.
Ketujuh, perlunya regulasi yang
Jelas. Peran pemerintah di sini sangat penting untuk mendukung dan memastikan
pertumbuhan dan stabilitas industri telehealth.
Diharapkan dengan menerapkan
pelajaran ini, industri telehealth di Indonesia dapat menghindari jebakan yang
sama dengan di Amerika Serikat dan membangun masa depan yang lebih cerah dengan
kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, sehingga
telehealth dapat memainkan peran penting dalam membangun sistem kesehatan yang
lebih adil dan merata bagi semua.
Konten ini telah tayang di
Kompasiana.com tanggal 9 Juni 2024 dengan judul "Layanan Telehealth: Tantangan dan Masa Depan
Industri", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/mujasteguh9915/6665b330ed64152f036ff802/layanan-telehealth-tantangan-dan-masa-depan-industri?page=3&page_images=1
Posting Komentar untuk "Layanan Telehealth : Tantangan dan Masa Depan Industri"